Religi  

Awas, Perhatikan Pupuk Yang Kamu Gunakan Saat Bercocok Tanam. Terutama Pupuk Kandang!

Awas, Perhatikan Pupuk Yang Kamu Gunakan Saat Bercocok Tanam. Terutama Pupuk Kandang!
Awas, Perhatikan Pupuk Yang Kamu Gunakan Saat Bercocok Tanam. Terutama Pupuk Kandang!

Kabarindonk News – Perhatikan pupuk yang Kamu gunakan saat menggunakan pupuk kandang saat bercocok tanam. Apakah boleh jika menggunakan kotoran hewan atau dari barang yang najis? ini jawabannya.

Menurut sebagian petani, pupuk kandang memang sangat baik untuk tanaman dibanding pupuk kimia apalagi jika digunakan dalam jangka panjang jika dilihat efeknya terhadap unsur tanah.

Pupuk kandang, kompos atau pupuk alami lainnya memang sudah digunakan sejak jaman dahulu kala sebelum pupuk kimia hadir. Jadi jelas manfaat dari pupuk alami ini sangatlah baik.

Namun apakah hukumnya jika kita menggunakan pupuk kandang yang notabene adalah kotoran hewan. Apa hukumnya jika dikaitkan dengan hukum dalam agama islam. Lalu bagaimana juga jika kotorannya dari barang yang najis, misal kotoran babi atau anjing.

Nah untuk kehati-hatian, saya telah menelusuri hal ini dan mendapat jawabannya.

Dilansir dari kabarmakkah.com, Ada salah satu jamaah yang bertanya, “Apakah tanaman yang dipupuk dengan pupuk kandang buahnya haram karena pupuk kandangnya berasal dari kotoran hewan?”

Ustadz Abu Abdillah menjawab hal itu dalam majalah Asy Syariah. Apabila pupuk kandangnya berasal dari kotoran hewan yang halal dimakan dagingnya, seperti kotoran ayam, sapi, kerbau, dan semisalnya, tidak jadi masalah, sebab kotoran tersebut suci.

Jika pupuk kandangnya berasal dari kotoran hewan yang haram dimakan dagingnya, masalah ini kembali pada perbedaan pendapat mengenai kesucian kotoran hewan yang haram dimakan dagingnya.

Ada perbedaan pendapat di antara ulama terkait kehalalan hasil tanaman (buah, biji, dan sayur-mayur) yang dipupuk dengan najis atau disirami/diairi dengan air bernajis.

  1. Jika dikatakan bahwa kotorannya suci sebagaimana mazhab Zhahiri, berarti tidak jadi masalah.
  2. Jika dikatakan bahwa kotorannya najis sebagaimana pendapat yang dipilih Ibnu Taimiyah, inilah yang menjadi masalah.

Begitu pula masalahnya jika dipupuk dengan kotoran manusia yang jelas kenajisannya, atau dipupuk dengan kotoran hewan yang najis karena hewan itu sendiri memang najis, seperti kotoran anjing dan babi.

Termasuk kotoran keledai yang dagingnya dinyatakan najis oleh Rasulullah dan bagal yang merupakan keturunan keledai dan kuda.

Ada perbedaan pendapat di antara ulama terkait kehalalan hasil tanaman (buah, biji, dan sayur-mayur) yang dipupuk dengan najis atau disirami/diairi dengan air bernajis.

  • Halal selama tidak tampak efek najis padanya.

Halal selama tidak tampak efek najis padanya, seperti bau busuk atau rasa najis.

Sebab, substansi najis tersebut telah mengalami proses istihalah (perubahan) sekian kali, mulai dari istihalah yang terjadi dalam tanah hingga diserap oleh akar tanaman dan beredar dalam tubuh tanaman, yang menyebabkan eksistensinya berubah menjadi substansi yang suci dalam tubuh tanaman tersebut.

  • Haram dengan hujah bahwa perubahan substansi yang najis ke substansi lain (istihalah) tidak dapat menyucikannya.

Haram dengan hujah bahwa perubahan substansi yang najis ke substansi lain (istihalah) tidak dapat menyucikannya.

Dengan demikian, haram dimakan sampai disucikan dulu dengan cara dipupuk atau disirami/diairi dengan zat yang suci beberapa waktu lamanya hingga dianggap suci kembali. Ini adalah mazhab Hanbali.

Hal itu terbukti dengan tidak tampaknya efek najis, seperti bau busuk atau rasa najis. Adapun jika tampak efek najis, seperti bau tidak sedap atau rasa najis, haram. Jika demikian, disucikan dulu dengan cara dipupuk atau disirami/diairi dengan zat yang suci beberapa waktu lamanya hingga efek najisnya hilang.

Oleh karena itu, jumhur ulama membolehkan memupuk tanaman dengan kotoran yang najis. Pendapat jumhur ulama inilah yang benar. Wallahu a’lam.

Catatan Kaki:

1 Lihat kitab al-Mughni (13/330, terbitan Dar Alam al-Kutub), al-Majmu (9/32), al-Inshaf (10/368), dan asy-Syarh al-Mumti (8/122, 15/22, Dar Ibni al-Jauzi pada Program Maktabah Syamilah).